Undang - Undang Hukum Pranata Pembangunan

Kamis, November 16, 2017 Annisa Whilda 0 Comments

UNDANG - UNDANG HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN

·         UNDANG – UNDANG NO.24 TAHUN 1992 TENTANG TATA RUANG
Berisi tentang penataan ruang untuk pola structural dan pola pemanfaatan ruang. Dalam undang – undang tersebut kita harus memperhatikan apa saja yang ada untuk tata ruang suatu wilayah, antara lain:
1.      Ruang harus dimanfaatkan secara serasi, selaras, dan seimbang dalam pembangunan yang berkelanjutan.
2.      Penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.
3.      Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
4.      Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

·         UNDANG – UNDANG NO. 4 TAHUN 1992 TENTANG PERMUKIMAN
Berisi tentang peraturan pembangunan perumahan dan pemukiman, dari pemanfaatannya, kewajiban, hak dan lain-lain. Yang memiliki tujuan untuk menata lingkungan perumahan dan pemukiman jauh lebih baik dan layak dihuni. Sarana dan prasarana adalah segala kelengkapan dasar fisik bangunan yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi dan layak dihuni. Fasilatas, sarana dan prasarana yang ada diperumahan dan pemukiman harus mendukung penghuni dalam berbagai aspek.

·         UNDANG – UNDANG NO. 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG
Mengatur ketentuan tentang bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan, penyelenggaraan, peran masyarakat, dan pembinaan. Artinya peraturan tentang kepranataan untuk kegiatan konstruksi harus mengacu dari undang-undang tersebut. Ada paying hokum atas keputusan presiden berkitan tentang tata cara pengadaan barang dan jasa milik pemerintah
Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam persyaratan teknik bangunan meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan (UU RI no. 28 tahun 2002 pasal 7 ayat 3). Persyaratan arsitektur bangunan gedung mencakup 3 syarat, yaitu (1) penampilan bangunan gedung, (2) tata ruang dalam bangunan, dan (3) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya.

KOTA-KOTA YANG MENERAPKAN RTH 30%
1.      SURABAYA
Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dimiliki Kota Surabaya hanya 26 persen dari total luas wilayah kota Surabaya yang mencapai 333.063 kilometer persegi. Untuk itu, Pemerintah Kota Surabaya bertekad untuk tetap membangun RTH-RTH baru yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, beberapa tahun lalu luas RTH di Surabaya hanya  sembilan persen, lalu kemudian naik menjadi 12 persen, dan kini sebesar 26 persen.
Di dalam Undang Undang (UU) Nomor 26/2007 tentang penataan ruang mensyaratkan RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. RTH terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota. “Saya menargetkan luas RTH bisa di atas 30 persen sehingga Surabaya bisa lebih sejuk, minim polusi, bebas banjir karena banyaknya resapan, juga wajah Surabaya menjadi lebih indah,  jelasnya.
Ke depan, sambung Risma, pemkot menargetkan luas RTH di Surabaya dapat mencapai 35 persen. Karena dengan luas RTH sebesar itu dapat menurunkan suhu udara rata-rata di Surabaya dari 34 derajat celcius menjadi 32 hingga 30  udara bisa 32-30 derajat celcius .
Pembuatan RTH ini tidak selalu dalam bentuk taman, akan tetapi juga bisa berupa pembuatan waduk, penanaman pohon di pinggir jalan, hingga tempat-tempat pembiakan bibit tanaman.

2.      BANDUNG
Saat ini Kota Bandung baru memiliki sekitar 1700 hektare RTH. Sedangkan idealnya RTH untuk kota yang memiliki luas 16.729,65 hektare ini adalah sekitar 6000 hektare. data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup 2007, ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini tersisa 8,76 persen. Padahal idealnya sebuah kota harus memiliki ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari total luas kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ruang tebuka hijau di Metropolitan Bandung terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada kenyataannya ruang terbuka hijau pada kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan terbangun, sehingga ruang terbuka hijau yang selama ini berfungsi sebagai resapan air, tidak lagi dapat menampung limpasan air hujan yang turun ke bumi. Hal ini mengakibatkan terjadinya banjir di beberapa titik.
Jika Kota Bandung tanpa RTH, sinar matahari yang menyinari itu 90% akan menempel di aspal, genting rumah, dan bangunan lainnya yang ada. sementara sisanya yang 10% akan kembali ke angkasa. Hal itu memicu udara Kota Bandung menjadi panas. Namun, jika bandung memiliki RTH sesuai dengan angka ideal, maka sinar matahari itu 80% diserap oleh pepohonan untuk fotosintesis, 10% kembali ke angkasa, dan 10% nya lagi yang menempel di bangunan, aspal dan lainnya. Menurut data yang dilansir Greenlife Society setidaknya 90 pusat perbelanjaan di Bandung itu masih berhutang 85 ribu meter persegi ruang hijau.

3.      ACEH
Green Open Space (Ruang Terbuka Hijau)
Ruang terbuka hijau (RTH) adalah salah satu elemen terpenting kota hijau. Ruang terbuka hijau berguna dalam mengurangi polusi, menambah estetika kota, serta menciptakan iklim mikro yang nyaman. Hal ini dapat diciptakan dengan perluasan lahan taman, koridor hijau dan lain-lain.
Mengingat pentingnya peranan ruang terbuka hijau dalam visi green city, Pemko Banda Aceh telah melahirkan Qanun No. 4 Tahun 2009 tentang RTRW Kota Banda Aceh 2009-2029. Dalam qanun ini, ditetapkan bahwa pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) meliputi taman kota, hutan kota, jalur hijau jalan, sabuk hijau, RTH pengaman sungai dan pantai atau RTH tepi air. Pengaturan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Banda Aceh disebar pada setiap desa/gampong (90 gampong).
Jumlah RTH hingga tahun 2011 meliputi taman kota tersebar pada 40 gampong dan hutan kota tersebar pada 19 gampong. Target pencapaian RTH gampong setiap 5 tahun sebanyak 12 taman kota dan 18 hutan kota sehingga pada tahun 2029 pemanfaatan ruang terbuka hijau telah tersebar merata di seluruh gampong di Kota Banda Aceh.
Sesuai dengan RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029, pemerintah Kota Banda Aceh menargetkan RTH publik sebesar 20,52%. Hingga tahun 2011 ini luas RTH (ruang terbuka hijau) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota adalah sebesar ± 12,0%. Untuk mencapai target 20,52% tersebut, Pemerintah Kota terus berupaya mengimplemetasikan berbagai kebijakan dan program perluasan ruang terbuka hijau.
Untuk RTH privat, kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh sudah menerapkan RTH seluas 30 – 40% dari setiap persil bangunan, dimana angka persentase luasan RTH ini sudah melebihi target yang ditetapkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu 10%. RTH yang dikembangkan di Banda Aceh meliputi sempadan sungai, sempadan pantai, sepanjang jaringan jalan, pemakaman, taman kota yang tersebar pada setiap kecamatan, dan hutan kota.
Pada kawasan pesisir pantai, RTH berfungsi sebagai penyangga bagi daerah sekitarnya dan penyangga antara kawasan pesisir dengan kawasan terbangun juga berfungsi mereduksi gelombang pasang dan meminimalkan gelombang tsunami. Oleh karena itu, bagi Kota Banda Aceh, RTH di sepanjang pesisir pantai juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari strategi mitigasi bencana. Selain itu, ia juga berperan untuk mengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah. Sementara itu, RTH di dalam kota seperti RTH di sempadan sungai dan di sepanjang jalan berfungsi peneduh/penyejuk, penetralisasi udara, dan keindahan dan menjaga keseimbangan iklim mikro. Untuk mendukung keberadaan RTH dan menjaga keseimbangan iklim mikro, Kota Banda Aceh juga didukung oleh beberapa kawasan tambak, tandon, kawasan bakau dan tujuh aliran sungai yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area), kegiatan perikanan, dan sebagainya.
Selain itu, Kota Banda Aceh juga melakukan peningkatan/revitalisasi hutan dan taman Kota. Juga dilakukan pemeliharaan berkala terhadap 74 taman, 10 areal perkuburan, taman pembibitan (7.12 Ha), dan hutan kota (6 Ha) yang ada di Kota Banda Aceh.









SUMBER

https://diniindahsaraswati.wordpress.com/2015/11/29/kota-yang-telah-menerapkan-30-luas-wilayah-kotanya-menjadi-ruang-terbuka-hujau/

UNDANG - UNDANG HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN ·          UNDANG – UNDANG NO.24 TAHUN 1992 TENTANG TATA RUANG Berisi tentang penataan ruan...

0 komentar:

give me your comment xoxo #muchlove

Hukum dan Pranata Pembangunan

Jumat, September 29, 2017 Annisa Whilda 0 Comments

DEFINISI HUKUM PRANATA BANGUNAN

Pranata dalam pengertian umum adalah interaksi antar individu/kelompok dalam kerangka peningkatan kesejahteraan atau kualitas hidup, dalam arti khusus bahwa terjadi interaksi antar aktor pelaku pembangunan untuk menghasilkan fiik ruang yang berkualitas. 

Pranata dibidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan system, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi berbeda dan menciptakan anomaly yang berbeda sesuai dengan kasus masing-masing.

Hukum pranata pembangunan “ suatu peraturan interaksi pelaku pembangunan untuk menghasilkan tata ruang suatu daerah menjadi lebih berkualitas dan kondusif.Hukum pranata pembangunan untuk menyempurnakan tatanan pembangunan pemukiman yang lebih teratur,berkualitas dan berkondusif bagi pengguna dan pemerintah daerah.

SISTEM DAN ORGANISASI PRANATA BANGUNAN
Pranata pembangunan sebagai suatu sistem adalah sekumpulan aktor/stakeholder dalam kegiatan membangun (pemilik, perencana, pengawas, dan pelaksana) yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain serta memiliki batas-batas yang jelas untuk mencapai satu tujuan. 
Sedikit pihak yang terlibat maka sistem tersebut semakin sederhana (simple system), sedangkan bila pihak yang terlibat semakin banyak maka disebut sistem kompleks (complex system). Kategori sistem ini dapat ditunjukan melalui karakternya, sistem sederhana memiliki karakter sebagai berikut : 
1)      Jumlah unsur/pihak terlibat sedikit dan interaksinya jelas
2)      Atribut dan aturan telah diatur oleh aturan tertentu
3)      Sistem berfungsi terkendali oleh waktu (memiliki durasi waktu yang jelas)
4)      Sub sistem tidak diturunkan dari tujuannya (goals)
5)      Perilaku sistem dapat diprediksi
Sedangkan untuk sistem yang komplek memiliki karakter sebagai berikut :
1)      Jumlah unsur/pihak terlibat banyak dan interkasi tidak jelas (tumpang tindih)
2)      Atribut dan aturan diatur atas kesepakatan kontrak
3)      Sistem berfungsi tidak terkendali oleh waktu
4)      Sub sistem diturunkan dari bagian-bagian tertentu
5)      Perilaku sistem tidak dapat diprediksi
Suatu sistem dapat merupakan suatu kombinasi antara sistem sederhana dan sistem kompleks. Adopsi peran/pelaku yang terlibat atau partisipan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori adalah tunggal (unitary), jamak (pluralist), dan campuran (coercive).
Organisasi adalah tahap kedua dalam manajemen merupakan upaya untuk mewujudkan rencana. Bentuk suatu organisasi dapat dibedakan atas beberapa rangkaian fungsi kegiatan, ada 3 bentuk; organisasi fungsional, organisasi proyek murni, dan organisasi matriks. Konsultan dan kontraktor dari pihak penyedia jasa dapat digunakan bentuk organisasi matriks. Struktur organisasi matriks adalah memaksimumkan kekuatan (organisasi proyek) dan meminimalkan kelemahan struktur fungsional (organisasi fungsional).

HUBUNGAN ANTAR OWNER, KONSULTAN & KONTRAKTOR
Owner, Konsultan dan kontraktor adalah pihak-pihak yang berhubungan dalam proses kegiatan konstruksi gedung/bangunan. Owner dengan konsultan memiliki hubungan kontraktual, oenwr dan kontraktor juga memiliki hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual merupakan hubungan professional yang didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan dalam suatu kontrak yang menuntut adanya keahlian profesi masing-masing sesuai bidang. Sedangkan konsultan dengan kontraktor memiliki hubungan koordinasi untuk mewujudkan keinginan pengguna jasa. Produk yang dihasilkan merupakan produk jasa, yang secara teknik dapat diukur melalui efisiensi dan efektifitas dari kualitas produk yang dikerjakan.  

UNSUR DARI HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
Hukum pranata pembangunan memiliki empat unsur :
1.      Manusia
Unsur pokok dari pembangunan yang paling utama adalah manusia.Karena manusia merupakan sumber daya yang paling utama dalam menentukan pengembangan pembangunan.
2.      Sumber daya alam
Sumber daya alam merupakan faktor penting dalam pembangunan. Sumber daya alam sebagai sumber utama pembuatan bahan material untuk proses pembangunan.
3.      Modal
Modal faktor penting untuk mengembangkan aspek pembangunan dalam suatu daerah.Apabila semakin banyak modal yang tersedia semakin pesat pembangunan suatu daerah.
4.      Teknologi
Teknologi saat ini menjadi faktor utama dalam proses pembangunan.Dengan teknologi dapat mempermudah, mempercepat proses pembangunan.

UUD YANG BERHUBUNGAN HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
          UU nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung yang mengatur segala hal tentang bangunan gedung dan persyaratan yang harus diperhatikan. Artinya peraturan tentang kepranataan untuk kegiatan konstruksi harus mengacu dari undang-undang tersebut. Ada paying hokum atas keputusan presiden berkitan tentang tata cara pengadaan barang dan jasa milik pemerintah
·         Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam persyaratan teknik bangunan meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan (UU RI no. 28 tahun 2002 pasal 7 ayat 3). Persyaratan arsitektur bangunan gedung mencakup 3 syarat, yaitu (1) penampilan bangunan gedung, (2) tata ruang dalam bangunan, dan (3) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya.

·         Keppres no. 80 tahun 2003 tentang tata cara pengadaan barang/jada instasi pemerintah disebutkan 5 siklis dalam proses pengadaan jasa tersebut. Siklis tersebut adalah (1) perencanaan pengadaan, (2) membentuk panitia pengadaan, (3) menetapkan system pengadaan, (4) menyusun jadual pengadaan, dan (5) menyusun owner estimate.





sumber:

http://eprints.undip.ac.id/27117/1/172-BA-FT-2007.pdf
https://hardi91.wordpress.com/2011/10/01/hukum-pranata-pembangunan/


DEFINISI HUKUM PRANATA BANGUNAN Pranata dalam pengertian umum adalah interaksi antar individu/kelompok dalam kerangka peningkatan kesej...

0 komentar:

give me your comment xoxo #muchlove

JEMBATAN PENYEBRANGAN ORANG

Minggu, Maret 26, 2017 Annisa Whilda 0 Comments

JEMBATAN PENYEBRANGAN ORANG adalah fasilitas pejalan kaki untuk menyeberang jalan yang ramai dan lebar atau menyeberang jalan tol dengan menggunakan jembatan, sehingga orang dan lalu lintas kendaraan dipisah secara fisik. Jembatan penyeberangan juga digunakan untuk menuju tempat pemberhentian bis (seperti busway Transjakarta di Indonesia), untuk memberikan akses kepada penderita cacat yang menggunakan kursi roda, tangga diganti dengan suatu akses dengan kelandaian tertentu.
Menurut TATA CARA JEMBATAN PENYEBRANGAN No.: 027/T/Bt/1995 jembatan penyebrangan pejalan kaki adalah jembatan yang hanya diperuntukan bagi lalu lintas pejalan kaki yang melintas diatas jalan raya atu rel kereta api.

KETENTUAN PEMBANGUNAN JEMBATAN ORANG (JPO), menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No: 03/PRT/M/2014
· Penyeberangan zebra tidak dapat diadakan;
· Penyeberangan pelikan sudah menganggu lalu lintas kendaraan yang ada;
· Ruas jalan memiliki kecepatan kendaraan yang tinggi dan arus pejalan kaki yang cukup ramai; dan/atau
· Ruas jalan dengan frekuensi terjadinya kecelakaan pejalan kaki yang cukup tinggi

DASAR PERENCANAAN
Perencanaan teknik jembatan penyebrangan untuk pejalan kaki di perkotaan harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku serta mempertimbangkan factor-faktor sebagai berikut:
1. Jembatan penyebrangan untuk pejalan kaki yang dibangun melintas di atas jalan raya atau jalur kereta:
a. Pelaksanaannya lebih cepat dan mudah;
b. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas;
c. Memenuhi kriteria keselamatan dan kenyamanan para pemakai jembatan serta keamanan bagi pemakai jalan yang melintas dibawahnya;
d. Pemeliharaan cepat dan mudah tidak perlu dilakukan secara intensif;
2. Memenuhi tuntutan estetika dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya.

TAHAP PERANCANAAN, menurut TATA CARA JEMBATAN PENYEBRANGAN No.: 027/T/Bt/1995
Perencanaan jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki harus dilakukan melalui tahap kegiatan sebagai berikut:
1) Pemilihan Lokasi
Lokasi jembatan penyebrangan lalu lintas pejalan kaki yang melintas diatas jalan raya harus memenuhi ketentuan:
a. Mudah dilihat serta dapat dijangkau dengan mudah dan aman;
b. Jarak maksimum dari pusat-pusat kegiatan dan keramaian serta pemberhentian bis adalah 50m;
c. Jarak minimum dari persimpangan jalan adalah 50m.
2) Pemetaan situasi
Pada lokasi jembatan penyebrangan yang direncanakan harus dilakukan pengukuran situasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku:
a. Hasil pengukuran disajikan dalam bentuk peta situasi dan potongan melintang dengan skala 1:100
b. Peta situasi potongan melintang
3) Membuat gambar pra rencana
Gambar pra rencana dibuat dengan skala 1:50, meliputi denah, potongan melintang dan memanjang dengan ketentuan:
a. Tinggi ruang bebas ditetapkan sesuai ketentuan yang tercantum pada table 1
b. Lebar jembatan ditetapkan sebagai berikut:
· Lebar minimum jalur pejalan kaki dan tangga adalah 2.00 m;
· Pada kedua sisi jalur pejalan kaki dan tangga dipasang sandaran yang mempunyai ukuran yang sesuai dengan ketentuan;
4) Melakukan penyelidikan geoteknik pada lokasi jembatan dengan ketentuan
5) Membuat perencanaan detail bangunan atas, bangunan bawah, pondasi, tangga dan sandaran serta elemen lainnya mengacu pada:
a. Ketentuan pembebanan yang berlaku;
b. Spesifikasi elemen jembatan yang berlaku;
c. Tata cara perencanaan pondasi jembatan yang berlaku;
6) Menyusun spesifikasi untuk pelaksanaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

LOKASI PENYEBERANGAN
Lokasi penyeberangan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Penyeberangan di Tengah Ruas Jalan Untuk kawasan perkotaan, dalam hal terdapat jarak antarpersimpangan yang cukup panjang dapat disediakan penyeberangan di tengah ruas jalan agar pejalan kaki dapat menyeberang dengan mudah dan cepat. Lokasi penyeberangan di tengah ruas jalan ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut:
a) lokasi penyeberangan memungkinkan untuk mengarahkan pejalan kaki menyeberang pada satu lokasi;
b) merupakan rute yang aman bagi anak-anak sekolah untuk menyeberang jalan;
c) berada pada kawasan dengan konsentrasi pejalan kaki yang menyeberang cukup tinggi.
2) Penyeberangan di Persimpangan Ketentuan teknis untuk penyeberangan di persimpangan yaitu sebagai berikut:
a) dilengkapi alat pemberi isyarat lalu lintas yang berfungsi untuk menghentikan arus lalu lintas sebelum pejalan kaki menyeberang jalan atau memberi isyarat kepada pejalan kaki saat yang tepat untuk menyeberang jalan.
b) jika penyeberangan di persimpangan memiliki permasalahan yang cukup kompleks antara lain dengan interaksi dari sistem prioritas, volume yang membelok, kecepatan, jarak penglihatan, dan tingkah laku pengemudi, maka pada suatu fase yang terpisah bagi pejalan kaki dapat diterapkan alat pemberi isyarat lalu lintas, dengan memperhatikan hal–hal sebagai berikut:

· arus pejalan kaki yang menyeberangi setiap kaki persimpangan lebih besar dari 500 orang/jam.
· lalu lintas yang membelok kesetiap kaki persimpangan mempunyai jarak waktu (headway) rata-rata kurang dari 5 detik, tepat pada saat lalu lintas tersebut bergerak dan terjadi konflik dengan arus pejalan kaki.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 19/PRT/M/2011
BANGUNAN PELENGKAP JALAN SEBAGAI FASILITAS LALU LINTAS
Pasal 25 
Bangunan pelengkap jalan sebagai fasilitas lalu lintas dan fasilitas pendukung pengguna jalan meliputi: a. jembatan penyeberangan pejalan kaki; b. terowongan penyeberangan pejalan kaki; c. pulau jalan; d. trotoar; e. tempat parkir dibadan jalan; dan f. teluk bus yang dilengkapi halte.
Pasal 26
(1) Jembatan penyeberangan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan bangunan jembatan yang diperuntukkan untuk menyeberang pejalan kaki dari satu sisi jalan ke sisi jalan yang lainnya.
(2) Jembatan penyeberang pejalan kaki harus dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah dipelihara.
(3) Jembatan penyeberangan pejalan kaki memiliki lebar paling sedikit 2 (dua) meter dan kelandaian tangga paling besar 200 (dua puluh derajat).
(4) Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi dengan pagar yang memadai.
(5) Pada bagian tengah tangga jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi bagian rata yang dapat digunakan sebagai fasilitas untuk kursi roda bagi penyandang cacat.
(6) Lokasi dan bangunan jembatan penyeberang pejalan kaki harus sesuai dengan kebutuhan pejalan kaki dan estetika.

PERATURAN YANG MENYANGKUT PENYANDANG DISABILITAS
1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam pasal 25, dengan tegas peraturan ini menyebutkan bahwa fasilitas jalan harus dilengkapi dengan fasilitas penyandang cacat.
2. Undang Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
UU ini adalah payung legal yang menaungi penyandang disabilitas dalam berbagai lini kehidupan. Lebih rinci mengenai aturan ini, kita bisa melihat bagian kesebelas menjelaskan tentang Infrastruktur. Pada poin tersebut, pembangunan harus disesuaikan agar ramah kepada penyandang disabilitas. Hal ini tercantum sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas. (2) Infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bangunan gedung; b. jalan; c. permukiman; dan d. pertamanan dan permakaman
3. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 5 tahun 2014 Tentang Transportasi
Dalam Perda ini, terdapat poin yang menunjukkan kesadaran tinggi dalam memberikan keistimewaan terhadap penyandang disabilitas.
Di DKI Jakarta, penyandang disabilitas seharusnya mendapat tempat khusus di beberapa jenis infrastruktur transportasi seperti fasilitas jalan, pejalan kaki, terminal, lalu lintas jalan, stasiun. Perda ini menekankan pentingnya aksesibilitas penyandang disabilitas.
Jembatan penyeberangan diatur secara khusus dalam Paragraf 5 tentang pejalan kaki di ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Fasilitas Pejalan Kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjamin keselamatan pengguna dan dapat berupa : a. trotoar yang terhubung langsung dengan lajur sepeda, Jembatan Penyeberangan Pejalan Kaki, Terowongan Penyeberangan Pejalan Kaki, Halte dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.

PERATURAN TEKNIS
Pengaturan secara teknis diatur cukup terperinci oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Lewat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014/2011 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, diatur tentang spesifikasi detail yang harus terpenuhi.
Berikut aturan teknis yang mengatur Jembatan Penyeberangan yang didefinisikan sebagai jalur pejalan kaki di atas permukaan tanah: 






Dalam dokumen tersebut, beberapa hal yang berkaitan dengan Jalan Pejalan Kaki juga diatur secara terperinci. Pedoman ini mencantumkan cukup detail tentang maksimum panjang 400 meter untuk kemudian dihubungkan dengan fasilitas transportasi lainnya.
Penggunaan lift juga diatur untuk memudahkan pengguna jalan terutama perencanaan pembangunan infrastruktur tidak sebidang. Pedoman ini menekankan kepada kenyamanan pejalan kaki baik terowongan maupun jembatan penyeberangan. Untuk menghindari ketidaknyamanan pengguna jalan akibat perbedaan bidang, pedoman ini memberi saran agar dibangun lift.











Sumber:

JEMBATAN PENYEBRANGAN ORANG  adalah fasilitas   pejalan kaki   untuk menyeberang   jalan   yang ramai dan lebar atau menyeberang   jalan to...

0 komentar:

give me your comment xoxo #muchlove